Selasa, 15 Desember 2009

Menutup Aurat Yuk ..!


Bismillah…

Saudariku seiman....

Bagi kita kaum Muslimin, tentu tahu kewajiban kita masing-masing. Mulai dari Syahadat, Shalat, Puasa, Zakat, Haji, dll. Dan salah satu dari itu ya… “MENUTUP AURAT”

“Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: ’Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan khumur (Ind: jilbab)nya ke dadanya…’” (Annur:31)

Keterangan :

Ayat ini menegaskan empat hal:

a. Perintah untuk menahan pandangan dari yang diharamkan oleh ALLOH SWT.

b. Perintah untuk menjaga kemaluan dari perbuatan yang haram.

c. Larangan untuk menampakkan perhiasan kecuali yang biasa tampak.

Para ulama mengatakan bahwa ayat ini juga menunjukkan akan haramnya menampakkan anggota badan tempat perhiasan tersebut. Sebab jika perhiasannya saja dilarang untuk ditampakkan apalagi tempat perhiasan itu berada. Sekarang marilah kita perhatikan penafsiran para sahabat dan ulama terhadap kata “…kecuali yang biasa nampak…” dalam ayat tersebut. Menurut Ibnu Umar RA. yang biasa nampak adalah wajah dan telapak tangan. Begitu pula menurut ‘Atho,’ Imam Auzai dan Ibnu Abbas RA. Hanya saja beliau (Ibnu Abbas) menambahkan cincin dalam golongan ini. Ibnu Mas’ud RA. mengatakan maksud kata tersebut adalah pakaian dan jilbab. Said bin Jubair RA. mengatakan maksudnya adalah pakaian dan wajah. Dari penafsiran para sahabat dan para ulama ini jelaslah bahwa yang boleh tampak dari tubuh seorang wanita adalah wajah dan kedua telapak tangan. Selebihnya hanyalah pakaian luarnya saja.

d. Perintah untuk menutupkan khumur ke dada.

Khumur adalah bentuk jamak dari khimar yang berarti kain penutup kepala. Atau dalam bahasa kita disebut jilbab. Ini menunjukkan bahwa kepala dan dada adalah juga termasuk aurat yang harus ditutup. Berarti tidak cukup hanya dengan menutupkan jilbab pada kepala saja dan ujungnya diikatkan ke belakang. Tapi ujung jilbab tersebut harus dibiarkan terjuntai menutupi dada.

2. Hadis riwayat Aisyah RA, bahwasanya Asma binti Abu Bakar masuk menjumpai Rasululloh SAW dengan pakaian yang tipis, lantas Rasululloh SAW berpaling darinya dan berkata:“Hai Asma, seseungguhnya jika seorang wanita sudah mencapai usia haid (akil baligh) maka tak ada yang layak terlihat kecuali ini,” sambil beliau menunjuk wajah dan telapak tangan. (HR. Abu Daud dan Baihaqi).

Keterangan :
Hadis ini menunjukkan dua hal:

a. Kewajiban menutup seluruh tubuh wanita kecuali wajah dan telapak tangan.
b. Pakaian yang tipis tidak memenuhi syarat untuk menutup aurat.

Dari kedua dalil di atas jelaslah batasan aurat bagi wanita, yaitu seluruh tubuh kecuali wajah dan dua telapak tangan. Dari dalil tersebut pula kita memahami bahwa menutup aurat adalah wajib. Berarti jika dilaksanakan akan menghasilkan pahala dan jika tidak dilakukan maka akan menuai dosa. Kewajiban menutup aurat ini tidak hanya berlaku pada saat solat saja namun juga pada semua tempat yang memungkinkan ada laki-laki lain bisa melihatnya.

Selain kedua dalil di atas masih ada dalil-dalil lain yang menegaskan akan kewajiban menutup aurat ini:

1. Dari Al-Qur’an

a. “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu melakukan tabarruj sebagaimana tabarrujnya orang-orang jahiliyyah dahulu…” (Qs. Al-Ahzab: 33).

Keterangan:
Tabarruj adalah perilaku mengumbar aurat atau tidak menutup bagian tubuh yang wajib untuk ditutup. Fenomena mengumbar aurat ini adalah merupakan perilaku jahiliyyah. Bahkan diriwayatkan bahwa ritual haji pada zaman jahiliyyah mengharuskan seseorang thawaf mengelilingi ka’bah dalam keadaan bugil tanpa memandang apakah itu lelaki atau perempuan.

Konteks ayat di atas adalah ditujukan untuk istri-istri Rasululloh SAW. Namun keumuman ayat ini mencakup seluruh wanita muslimah. Kaidah ilmu ushul fiqh mengatakan: “Yang dijadikan pedoman adalah keumuman lafadz sebuah dalil dan bukan kekhususan sebab munculnya dalil tersebut (al ibratu bi umumil lafdzi la bikhususis sabab).

b. “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang-orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal dan oleh karenanya mereka tidak diganggu. Dan ALLOH SWT Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Ahzab: 59).

Keterangan:
Jilbab dalam bahasa Arab berarti pakaian yang menutupi seluruh tubuh (pakaian kurung), bukan berarti jilbab dalam bahasa kita (lihat arti kata khimar di atas). Ayat ini menjelaskan pada kita bahwa menutup seluruh tubuh adalah kewajiban setiap mukminah dan merupakan tanda keimanan mereka.

2. Hadis Rasululloh SAW, bahwasanya beliau bersabda:

“Ada dua golongan penghuni neraka yang aku belum pernah melihatnya: Laki-laki yang tangan mereka menggenggam cambuk yang mrip ekor sapi untk memukuli orang lain dan wanita-wanita yang berpakaian namun telanjang dan berlenggak lenggok. Kepalanya bergoyang-goyang bak punuk onta. Mereka itu tidak masuk surga dan tidak pula mencium baunya. Padahal sesungguhnya bau surga itu bisa tercium dari jarak sekian dan sekian.” (HR. Muslim)

Keterangan:
Hadis ini menjelaskan tentang ancaman bagi wanita-wanita yang membuka dan memamerkan auratnya. Yaitu siksaan api neraka. Ini menunjukkan bahwa pamer aurat dan “buka-bukaan” adalah dosa besar. Sebab perbuatan-perbuatan yang dilaknat oleh ALLOH SWT atau Rasul-Nya dan yang diancam dengan sangsi duniawi (qishas, rajam, potong tangan dll) atau azab neraka adalah dosa besar.

Sumber :

Abdullah syauqi

http://abdullah-syauqi.cybermq.com/post/detail/4231/menutup-aurat-yuk…

12 Juli 2009



Sumber Gambar:
http://www.iluvislam.com

Haram Hukumnya Melihat Aurat Orang Lain

Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri r.a., bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah seorang lelaki melihat aurat lelaki lainnya dan janganlah pula seorang wanita melihat aurat wanita lainnya. Janganlah seorang lelaki berkemul dengan lelaki lain dalam satu selimut dan janganlah pula seorang wanita lain dalam satu selimut,” (HR Muslim [338]).

Kandungan Bab:

1. Haram hukumnya mandi telanjang di tempat umum, seperti pemandian umum atau tepi pantai. 

2. Boleh mandi telanjang jika sendirian dan di tempat sepi, dalilnya adalah hadits Abu Hurairah r.a, dari Rasulullah saw. beliau bersabda, “Dahulu, orang-orang Bani Israil biasa mandi telanjang, saling melihat satu sama lainnya. Sementara Nabi Musa mandi sendirian. Mereka berkata, ‘Demi Allah, tidak ada yang menghalangi Musa mandi bersama kita kecuali karena kemaluannya bengkak (hernia).’ Suatu ketika Nabi Musa pergi seorang diri hendak mandi. Beliau meletakkan pakaian di atas sebuah batu. Lalu batu itu membawa lari pakaiannya. Maka Nabi Musa pun mengejar batu itu sambil berteriak, ‘Hai batu, kembalikan bajuku!’ Kejadian itu terlihat oleh orang-orang Bani Israil. Mereka berkata, ‘Demi Allah, ternyata Musa tidak menderita kelainan sedikit pun.’ Lalu Musa mengambil pakaiannya dan memukul batu tersebut.” (HR Bukhari [278] dan Muslim [339]). 


Abu Hurairah r.a. berkata, “Demi Allah, pukulan Nabi Musa itu meninggalkan enam atau tujuh bekas pada batu tersebut.”

Diriwayatkan juga dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Ketika Nabi Ayyub sedang mandi telanjang sendirian, jatuhlah kepingan-kepingan emas laksana belalang menimpa tubuhnya. Maka ia pun menampungnya dengan kedua telapak tangannya, lalu meletakkannya ke dalam pakaiannya. Maka Allah memanggilnya: ‘Hai Ayyub, bukankah Aku telah mencukupimu daripada apa yang engkau lihat itu?’ Ayyub menjawab, ‘Benar, demi kemuliaan-Mu, namun aku tidak merasa cukup menerima barakah dari-Mu’,” (HR Bukhari [279]).

Bentuk pengambilan dalil dari kedua hadits tersebut adalah Musa dan Ayyub mandi telanjang sendirian, dan Allah tidak menegur keduanya. Itu menunjukkan, mandi telanjang sendirian dibolehkan. Imam Bukhari menulis sebuah bab dalam kitab Shahihnya, bab “Orang yang mandi telanjang sendirian di tempat sepi. Bagi yang menutup auratnya, maka itu lebih afdhal.”

3. Menutup aurat lebih afdhal, karena lebih patut malu terhadap Allah daripada malu terhadap manusia. Dalilnya adalah hadits Mu’awiyah bin Haidah r.a., ia berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang harus kami jaga berkaitan dengan aurat kami?” Rasulullah berkata, “Jagalah auratmu kecuali terhadap isteri atau budakmu!” Ia berkata, “Aku berkata lagi, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana kalau di antara kami saja sesama pria?’” Rasulullah berkata,“Usahakanlah semampu kamu agar auratmu tidak terlihat oleh siapa pun.” Ia berkata, “Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana kalau kami seorang diri?’” Rasulullah berkata, “Kamu lebih patut malu terhadap Allah daripada malu terhadap manusia.” (HR Abu Dawud [4017], Tirmidzi [2769 dan 2794], Ibnu Majah [1920], Ahmad [V/403], al-Baihaqi [I/199]). 

4. Antara suami isteri boleh saling melihat aurat, menyentuh dan menikmatinya berdasarkan hadits di atas.

Adapun hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah r.a., bahwa ia berkata, “Saya tidak pernah sama sekali melihat aurat Rasulullah saw.” adalah hadits dha’if, dinyatakan dha’if oleh al-Bushairi dan ulama lainnya.

Demikian pula hadits yang berbunyi, “Jika salah seorang dari kamu mendatangi isterinya, maka hendaklah ia menutupi dirinya, janganlah keduanya telanjang seperti dua ekor keledai.”

Hadits ini dinyatakan dha’if oleh an-Nasa’i, al-Baihaqi, al-Bushairi, dan al-‘Iraqi. Demikian pula hadits yang berbunyi, “Jika salah seorang dari kamu menyetubuhi isteri atau budak wanitanya, janganlah ia melihat farjinya (kemaluannya), karena akan menyebabkan kebutaan.”

Hadits ini maudhu’ (palsu), sebagaimana yang telah dikatakan oleh Abu Hatim ar-Razi, Ibnu Hibban, Ibnul Jauzi, dan lainnya.

Kesimpulannya, tidak ada satu pun hadits shahih yang melarang suami melihat aurat isterinya atau yang melarang isteri melihat aurat suaminya, wallahu a’lam.

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 1/312-315.

Sumber :

Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali  

http://alislamu.com/index.php?Itemid=67&id=1382&option=com_content&task=view

3 September 2008

Aurat Muslimah di depan Muslimah

Pertanyaan:
Assalamu`alaikum wr. wb.

Pak Ustad,

Saya ingin bertanya, bagaimana hukumnya membuka jilbab di depan orang selain muslim walaupun dia adalah seorang perempuan, karena mereka bukan muhrim?

Mohon penjelasan dari Pak Ustad dan atas bantuannya saya ucapkan terima kasih.


Wassalamu'alaikum wr. wb.

Arminda Aryani
Batam


Jawaban:

Assalamu`alaikum wr. wb.

Aurat artinya anggota badan yang harus ditutupi seorang muslim atau muslimah. Aurat muslimah meliputi aurat yang harus ditutupi pada waktu sholat dan aurat di luar waktu sholat. Aurat muslimah pada waktu sholat adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan.

Untuk yang kedua, aurat muslimah terbagi menjadi aurat muslimah di depan laki-laki (baik mahrom atau tidak) dan aurat muslimah di depan sesama muslimah dan di depan perempuan non-muslimah.

Ada beberapa pendapat ulama mengenai hal ini, yaitu :

Pertama, menurut Imam Syafi'i (pendiri madzab Syafi'i) dan Imam hanafi, aurat muslimah di depan laki-laki yang mahrom dan perempuan muslimah atau kerabat dekatnya adalah antara pusar hingga lutut.

Kedua, menurut Imam Malik (pendiri madzhab Maliki) adalah seluruh badan kecuali wajah, kepala, leher, kedua tangan dan kedua kaki.

Ketiga, menurut Imam Ahmad (pendiri madzhab Hambali) aurat perempuan adalah seluruh badannya kecuali wajah, tangan, kepala, kaki, dan betis.

Bagi madzhab Hambali dan Hanafi telapak kaki bukanlah aurat. Oleh karena itu madzhab Hanafi tidak mewajibakan muslimah menutup telapak kaki dalam sholat.

Sedang aurat muslimah di depan perempuan non-muslimah, pendapat Syafi'i dan Hanafi mengatakan bahwa aurat muslimah di depan mereka adalah seluruh badan kecuali yang umum terlihat ketika menjalankan pekerjaan rumah sehari-hari, artinya dalam batas menggunakan pakaian rumah.

Sedang menurut Hambali dan Maliki adalah seperti aurat muslimah di depan muslimah, yaitu antara pusar dan lutut.

Kedua pendapat tersebut bersumber dari panafsiran ayat : 31 surah al-Nur : Katakanlah kepada wanita yang beriman : "hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara-saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara-saudara perempuan mereka, atau "wanita-wanita" (mereka)......"

Menurut Hanbali, kata "wanita-wanita (mereka)" bermakna perempuan pada umumnya, tanpa beda antara perempuan muslimah atau non-muslimah. Maka diperbolehkan bagi muslimah untuk memperlihatkan perhiasannya kepada perempuan non-muslimah apa yang diperbolehkan untuk di perlihatkan kepada muslimah dan muhrimnya.

Sedang Imam syafi'i dan Imam Hanafi menegaskan bahwa kata "wanita-wanita" adalah khusus untuk muslimah, maka tidak dihalalkan bagi muslimah untuk memperlihatkan auratnya ataupun perhiasannya di depan perempuan non muslimah, kecuali dalam batas yang umum dalam menjalankan pekerjaan rumah sehari-hari.

Qurtubi (seorang ulama Maliki) dalam tafsirnya (12/232) menjelaskan "Seorang muslimah tidak boleh membuka auratnya di depan non muslimah, kecuali ia adalah hamba sahayanya, sesuai dengan ayat 31 surah al-Nur". Ibnu Juraij, Ubadah bin Nasi dan Hisyam al-Qari' membenci/melarang non muslimah berciuman (cara bersalaman untuk perempuan ala Arab) dan melihat aurat muslimah, mereka menafsirkan kata "dan perempuan-perempuan mereka" dengan muslimah. Ubadah bin Nasi berkata "Umar r.a. pernah berkirim surat kepada Ubadah bin Jarrah, 'Aku mendengar bahwa wanita non muslimah, di wilayahmu, telah terbiasa masuk ke kamar mandi muslimah, maka jangan lah itu terjadi lagi, karena non muslimah tidak boleh melihat muslimah dalam keadaan terbuka aurat.'" Kemudian Abu Ubaidah menyerukan kepada rakyatnya "Barangsiapa dari kaum wanita (non muslimah) yang memasuki kamar mandi muslimah dengan tanpa alasan yang pasti, maka akan celakalah dia".

Ibnu Abbas berkata : Seorang muslimah (auratnya) tidak boleh terlihat oleh wanita nasrani atau yahudi, khawatir kalau akan diceritakan kepada suaminya. Selanjutnya Qurtubi menjelaskan "Dalam masalah ini telah terjadi perbedaan antar para ulama. Kalau wanita tersebut hamba sahaya maka boleh saja melihat tuannya muslimah, kalau tidak maka tidak boleh karena telah terputusnya hubungan ukhuwah dengan non muslimah sebagaimana banyak dijelaskan."

Menurut syeh Atiyah Muhamad Saqr, seorang mufti Mesir : hubungan muslimah dan non muslimah adalah seperti hubungan muslimah dengan non muhrimnya, artinya aurat mereka adalah seluruh badan kecuali telapak tangan dan muka.

Jadi kesimpulannya : wanita muslimah apakah harus berjilbab di depan non muslimah? terdapat dua pendapat ulama. Untuk lebih berhati-hati tentu pendapat kedua akan lebih baik, namun aspek etika dan kemaslahatan agama tetap harus dipertimbangkan dan diperhatikan dalam masalah ini. Meskipun di sana terdapat pendapat yang mengatakan bahwa aurat muslimah di depan muslimah dan di depan laki-laki muhrim adalah antara pusar hingga lutut, namun ini bukan berarti sebatas itu seorang muslimah harus menutupi auratnya, namun yang tersirat dalam ajaran manutupi aurat adalah agar menjaga kesopanan dan tetap berhati-hati dalam bermu'asyarah meskipun dengan muhrim.

Bagi muslimah, di depan perempuan muslimah dan lelaki muhrimnya harus tetap berhati-hati dan menjaga kesopanan dan hanya membuka aurat sebatas kebutuhan, misalnya karena pekerjaan rumah atau pengobatan. Apalagi di depan non muslimah atau di depan non muhrim, tentu selayaknya ia harus lebih berhati-hati dalam menutup auratnya.

Wallahu a`lam. Semoga membantu.


Wassalamu'alaikum wr. wb.

Sumber :

http://www.pesantrenvirtual.com/index.php/component/content/article/1-tanya-jawab/776-aurat-muslimah-di-depan-muslimah

Jilbab, Menutup Aurat atau Membalut Aurat...?

Jilbab bukan lagi menjadi kata yang asing didengar, terlebih belakangan ini, di mana wanita muslimah berbondong-bondong untuk mengenakan jilbab – dengan prasangka baik – bahwa mereka melakukannya sebagai wujud ketaatan akan perintah Allah dan Rasul-Nya. Ada perasaan nyaman bagi sebagian orang yang mengenakannya, karena pakaian yang dikenakannya akan meninggalkan kesan yang ‘lebih Islami’, terlepas dari cara dan mode pakaian yang dia kenakan.

Yang tidak banyak disadari, atau mungkin lebih sering diabaikan, bahwa jilbab bukan sekedar mengenakan pakaian lengan panjang, betis tertutup hingga tumit, dada dan leher terhalang dari padangan orang. Bahwa jilbab bukan sekedar membalut anggota-anggota tubuh yang tidak semertinya terlihat selain mahram. Tidak, Jilbab lebih dari itu!

Allah subhanahu wata’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ

“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". (QS Al-Ahzab [33] : 59)

Jilbab sejatinya adalah ‘body covering’, penutup tubuh (aurat) yang akan melindungi seorang wanita, dari pandangan dan penilaian orang lain, khususnya laki-laki, dan bukannya ‘body shaping’, pembalut tubuh yang menampilkan seluruh lekuk liku tubuh seorang wanita, membuat orang menoleh kepadanya.

Jilbab, di tangan wanita muslimah masa kini, telah kehilangan esensinya. Seperti komentar seorang rekan kerja dulu, ketika melihat dua orang gadis remaja berboncengan dengan jilbab yang serba ketat, “Yah.. jilbab sekarang kan untuk membalut aurat, bukan untuk menutup aurat!”

Padahal Allah subhanahu wa ta’ala telah memperingatkan:

وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ

“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya,” (QS An-Nuur [24] : 31)

Saat ini, di tangan wanita muslimah masa kini, jilbab itu sendiri adalah perhiasan. Sebagian orang yang mengenakannya justru mengundang orrang (baca: laki-laki) untuk melihatnya, Betapa tidak, pakaian terututup yang serba ketat justru menggoda orang ingin tahu apa yang ada di baliknya. Baju model baby doll berlengan pendek, dipadu dengan manset dan jeans atau bicycle pants super ketat, atau jenis pakaian ketat yang menampilkan lekuk tubuh lainnya. Jika sudah begitu lalu apa bedanya dengan pakaian yang lainnya? Tambahan sepotong kain yang dililitkan pada kepala dan leher tidak menjadikan sebuah pakaian dikatakan berjilbab, karena toh yang memakainya masih terlihat seperti telanjang. Padahal Rasulullah telah memberikan peringatan keras, kepada para wanita yang berpakaian tetapi telanjang:

“Ada dua golongan penduduk neraka yang sekarang saya belum melihat keduanya, yaitu: wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang, yang berlenggak-lenggok dan memiringkan kepalanya seperti punuk unta, dimana mereka tidak akan masuk surga, bahkan mencium baunya pun tidak bisa” (HR Muslim dan Ahmad)


Hadits ini telah diabaikan, entah karena tidak tahu, atau mungkin tidak diperdulikan! Atau mungkin terlalu takut untuk mengetahui kebenaran yang akan menyebabkannya merasa terasing dari masyarakat, lalu membuatnya mentup mata, hati dan telinga. Atau bahkan yang lebih mengerikan lagi, dengan sengaja memberikan penafsiran berbeda mengenai perintah untuk menutup aurat itu, demi memenuhi hawa nafsunya!

Aduhai, entah kemana perginya rasa takut itu, seolah-olah kehidpan di dunia ini akan berlangsung selamanya dan ancaman manusia mulia, hamba dan utusan Allah untuk memberikan peringatan kepada manusia, tidak berarti apa-apa kecuali hanya sekedar gertak sambak! Na’udzubillah! Entah kemana perginya rasa malu yang seharusnya bermanifestasi pada prilaku dan cara berpakaian? Sebagian besar kita justru terlena pada penilaian kebanyakan orang. “Berjilbab bukan berarti ketinggalan zaman.” Atau, “Dengan jilbab pun bisa tampil modis dan trendi.” Entah mengapa, kita menjadi latah dengan penilaian orang kafir, mengenakan jilbab syar’I adalah symbol keterbelakangan, bahkan yang lebih menyedihkan lagi yang terjadi akhir-akhir ini, jilbab besar adalah cirri aliran sesat dan pengikut paham esktrimis!

Islam telah memuliakan wanita, menjaga kehormatan wanita dengan menetapkan batasan-batassannya, bukan untuk menjadikan wanita terkekang, sebaliknya bahkan untuk melindungi kaum wanita. Tubuh seorang wanita adalah milik pribadinya, bukan properti umum yang dapat dilirik, ditaksir dan diberikan penilaian. Wanita sejatinya adalah individu yang bebas, ketika dia mengikuti apa yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya bagi dirinya. Jangan mengira bahwa wania-wanita yang tampil trendi itu adalah orang-orang yang memiliki lebebasam memilih, karena toh mereka terkungkung oleh pandangan orang lain. Sederhana sekali, jika seseorang atau beberapa orang mengatakan kepada anda “kamu cantik dengan baju ini, atau dengan warna itu,” anda lalu mengikuti perkataannya. Padahal cantik adalah sebuah ukuran relatif yang senantiasa berfluktuasi sepanjang zaman. Layaknya mata uang, ia bisa mengalami devaluasi, Lalu di mana letak kebebasan itu, ketika seorang wanita membiarkan dirinya terbawa arus fluktuasi itu? Pilihan orang banyak adalah pilihannya? Pendapat orang banyak adalah pendapatnya?

Pada kenyataannya, jilbab adalah sesuatu yang masih asing di kalangan wanita muslimah, karena yang bertebaran saat ini hanyalah sekedar penutup kepala, pembalut tubuh, trend mode dan bukannya jilbab yang seharusnya berfungsi untuk menutup aurat dengan sempurna. Wallahu a'lam.

Semoga Allah memberikan kita taufik dan hidayah untuk menjalankan ketaatan kepada-Nya, dan istiqamah di atas ketaatan itu. Amin.

Sumber :

http://www.khayla.net/2009/10/jilbab-menutup-aurat-atau-membalut.html


Yuk, Tutup Aurat Sayang

Anak-anak perempuan yang belum baligh memang belum wajib menutup aurat mereka. Namun latihan sejak kecil sungguh penting dalam membentuk pribadi anak menjadi Muslimah yang taat kepada Allah.

Bagaimana ya caranya agar Ani belajar menutup auratnya?” demikian pertanyaan seorang teman dalam suatu kajian yang saya ikuti. Menutup aurat merupakan sebuah kewajiban bagi setiap Muslimah. Sebagaimana shalat dan ibadah lainnya, menutup aurat pun harus diajarkan sejak dini. Bukankah Allah telah memerintahkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyuruh perempuan
menutup auratnya?

“Hai Nabi, katakanlah kepada istriistrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, 'Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya (jilbab adalah sejenis baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala, muka dan dada) ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”( QS Al-Ahzab: 59) Lalu bagaimana mengajarkan menutup aurat pada Muslimah kecil kita ya? Ini kiatnya

Beri Contoh
Sebagai orangtua, ada satu kata yang harus Anda ingat dalam mendidik anak. “Ingatlah anak-anak meniru dari orangtuanya”. Karenanya sebagaimana saat Anda mengajarkannya shalat dan ibadah lain, akan lebih berarti jika Anda yang mencontohkannya. “Contoh adalah hal yang utama dalam mendidik anak. Jika ingin anak berjilbab, maka ibu dan wanita di sekeliling si anak harus lebih dulu mencontohkan,” kata Rahmadani Hidayatin, psikolog pada Universitas Medan Area, Medan.

Sejak Kecil

Terkadang kita melihat ada orangtua yang memakaikan busana princess dengan alasan agar anak terbiasa memakai busana yang feminin. Hari ini banyak orangtua maupun guru yang gelisah bagaimana menjadikan anaknya percaya diri. Islam seakan-akan sudah tidak cukup lagi. Padahal, kita yang menjadi penyebabnya. Kita ajarkan anak kita berjilbab agar mereka menjadi orang yang memuliakan syari’at Allah semenjak usia mereka yang masih belia. Tetapi saat berbicara, bukan iman yang kita tanamkan, melainkan keinginan untuk memperoleh tepuk-tangan manusia yang kita bangkitkan. Kalau mereka tidak berjilbab, bukan kita ingatkan mereka tentang mahabbatullah (cinta kepada Allah), melainkan biar cantik dilihat orang. Maksud kita baik, tetapi yang kita teriakkan, “Ayo, coba dipakai jilbabnya. Ih, jelek ah kalau nggak pakai jilbab.” Begitu mereka memakai jilbabnya, segera saja kita memuji, Nah…, begitu dong. Kalau pakai jilbab cantik kan?” Ah, andaikan saja pujian yang jarang kita berikan pada anak itu lebih mengingatkan mereka kepada Tuhannya, insya-Allah akan lain ceritanya. Tetapi tidak. Kita lebih sering memuji mereka meskipun tampaknya kita lebih sering mencela dengan alasan-alasan yang tidak menghidupkan jiwa. Kalau memang memakai jilbab hanya untuk cantik, bukankah ada jalan lain agar tampil lebih cantik lagi daripada sekedar pakai jilbab? Sebagaimana cara kita memuji anak saat pakai jilbab, seperti itu pula seringkali kita menganjurkan anak-anak berpakaian yang patut saat ke masjid. Kita suruh mereka pakai pakaian yang bagus biar tidak malu pada teman. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid. Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihlebihan.” (QS. Al-A’raaf: 31).

Hikmah
Berikut ini beberapa hikmah dari diwajibkannya jilbab bagi seorang Muslimah :

Baca Selengkapnya Di Majalah Alia Edisi Agustus 2009

Sumber :

Anggraini Lubis

http://www.aliapesonamuslimah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=86&Itemid=1

Larangan Membuka Aurat dan Menampakkan Perhiasan

Allah SWT berfirman, "Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat."

Katakanlah kepada wanita yang beriman,"Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung," (An-Nuur: 30-31).

Dalam ayat lain Allah berfirman, "Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya," (Al-Ahzab: 33).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, "Dua jenis manusia penghuni neraka yang belum lagi aku lihat. Pertama, sekelompok orang yang membawa cemeti seperti ekor-ekor sapi lalu mencambuki manusia dengannya. Kedua, wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang, berjalan berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring, mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium aromanya padahal aroma surga sudah tercium dari perjalanan sekian dan sekian," (HR Muslim [2128]).

Diriwayatkan dari Abu Udzainah ash-Shadafi r.a, bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Sebaik-baik wanita kalian adalah yang penyayang lagi subur, murah hati dan ringan tangan jika mereka bertakwa kepada Allah. Dan seburuk-buruk wanita kalian adalah yang memamerkan perhiasan lagi sombong, mereka adalah wanita-wanita munafiqah. Tidak akan masuk surga dari mereka kecuali hanya seperti gagak a'sham," (Shahih lighairihi, (HR Al-Baihaqi [VII/82]).

Kandungan Bab:
1. Wanita seluruhnya aurat, ia tidak boleh menampakkan sesuatu dari tubuhnya atau kecantikannya atau perhiasannya atau aromanya selain yang dikecualikan oleh syari'at seperti wajah dan dua telapak tangan, masalah ini masih diperselisihkan dikalangan ahli ilmu. Akan tetapi pendapat yang kaut menurutku adalah wajah dan telapak tangan dikecualikan berdasarkan hadits asma' binti Abu Bakar r.a, dengan catatan menutupnya adalah lebih baik, lebih disukai Allah dan lebih utama. 

Asy-Syaukani berkata dalam Nailul Authar (VI/244), "Wal hasil, seorang wanita boleh menampakkan tempat-tempat perhiasan jika diperlukan ketika menerima sesuatu, berjual beli dan memberi persaksian. Sehingga hal itu dikecualikan dari keumuman larangan menampakkan tempat-tempat perhiasan. Hal itu berlaku bila dianggap tidak ada tafsir marfu' tentang ayat ini. Dalam bab sesudahnya akan disebutkan dalil yang menunjukkan bahwa wajah dan telapak tangan termasuk yang dikecualikan."

2. Haram hukumnya seorang wanita berpakaian yang tidak menutupi auratnya. Ia memang berpakaian namun pada hakekatnya ia telanjang. Misalnya wanita yang memakai baju yang transparan atau sempit yang menampakkan kulit tubuhnya atau menampakkan lekuk tubuhnya, misalnya pundaknya, lengannya atau menampakkan bentuk tubuhnya. Sesungguhnya pakaian wanita adalah yang menutup seluruh auratnya dan janganlah menampakkan bentuk tubuh dan bodinya. Hendaklah pakaian tebal, luas dan lebar. 

3. Hadits bab di atas bagaikan halilintar yang menyambar kepala wanita yang menampakkan aurat dan perhiasan mereka, khususnya wanita-wanita model, kita belindung kepada Allah dari fitnah dan keburukan mereka.

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 3/60-62.

Sumber :

Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali  

http://alislamu.com/index.php?Itemid=67&id=2467&option=com_content&task=view

6 Februari 2009

Apakah Lutut Adalah Aurat?

Dari Abu Musa dia berkata, ”Sesungguhnya Nabi r pernah duduk di sebuah tempat yang padanya terdapat genangan air, maka beliau menyingkap kedua lututnya atau salah satu lututnya. Tatkala Utsman masuk, beliau segera menutupnya.”
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (7/43), Ath-Thabarani dan Al-Baihaqi (2/232) dari jalan Sulaiman bin Harb (dia berkata): Hammad bin Zaid menceritakan kepada kami (dia berkata): Ali bin Al-Hakam dan Ashim Al-Ahwal menceritakan kepadaku, bahwa keduanya mendengar Abu Utsman bercerita dari Abu Musa.

Dalam permasalahan ini ada beberapa hadits lainnya:

Di antaranya adalah dari Abu Ad-Darda` dia berkata, ”Saya pernah duduk-duduk di sisi Nabi r lalu tiba-tiba Abu Bakar datang dalam keadaan memegang ujung pakaiannya hingga dia menampakkan kedua lututnya. Maka Nabi r bersabda, ”Adapun teman kalian ini, maka dia telah tergesa-gesa,” lalu dia mengucapkan salam dan berkata, ”Wahai Rasulullah, sesungguhnya telah terjadi sedikit perselisihan antara saya dan Ibnu Al-Khaththab, maka saya terlalu terburu-buru bersikap terhadapnya kemudian saya menyesal. Lalu aku memintanya untuk memaafkan aku akan tetapi dia tidak mau memaafkan aku, maka saya pun bersegera menemuimu,” maka beliau bersabda, ”Allah mengampuni kamu wahai Abu Bakar (tiga kali). Kemudian Umar juga menyesal lalu dia segera mendatangi rumah Abu Bakar dan bertanya, ”apakah Abu Bakar ada?” mereka menjawab, ”Tidak ada.” Maka dia mendatangi Nabi r lalu mengucapkan salam kepada beliau, dan ketika itu wajah Nabi r kelihatan marah sampai-sampai Abu Bakar merasa kasihan (kepada Umar), lalu Umar berlutut di atas kedua lututnya. Dia berkata, ”Wahai Rasulullah r, demi Allah sungguh saya telah menzhalimi (dua kali),” maka Nabi r bersabda, ”Sesungguhnya Allah mengutus aku kepada kalian akan tetapi kalian berkata, ”Kamu berdusta,” sedang Abu Bakar berkata, ”Dia berkata benar.” Dia membantu saya dengan diri dan hartanya. Karena itu bisakah kalian untuk tidak mengganggu sahabatku ini?!” (dua kali), maka setelah itu Abu Bakar tidak pernah lagi diganggu.”

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (7/16-17) dan Ath-Thahawi dalam Al-Musykil (2/288) darinya.

Di antaranya adalah riwayat dari Amr bin Asy-Syarid dari ayahnya dia berkata, ”Sesungguhnya Nabi r pernah mengikuti seorang lelaki dari Tsaqif sampai-sampai beliau berlari-lari kecil di belakangnya sampai beliau memegang pakaiannya lalu bersabda, ”Angkat sarungmu,” maka lelaki itu menyingkap kedua lututnya dan berkata, ”Wahai Rasulullah, saya mengalami al-fanaf (al-hanaf adalah jari-jemari kaki yang satu mendekat dan mengarah ke kaki lainnya) dan kedua kedua lututku kecil.” Maka Rasulullah r bersabda, ”Semua ciptaan Allah -Azza wa Jalla- itu baik,” maka setelah itu lelaki itu tidak pernah terlihat kecuali sarungnya tinggi sampai ke pertengahan betis sampai dia mati.”

Diriwayatkan oleh Ahmad (4/390) dia berkata: Rauh menceritakan kepada kami (dia berkata): Zakariya bin Ishaq menceritakan kepada kami (dia berkata): Ibrahim bin Maisarah menceritakan kepada kami bahwa dia mendengar Amr bin Asy-Syarid dan seterusnya.

Ath-Thahawi juga meriwayatkannya dalam Al-Musykil (2/287) dia berkata: Abu Umayyah menceritakan kepada kami (dia berkata): Rauh bin Ubadah menceritakan kepada kami dan seterusnya.

Ini adalah sanad shahih yang sesuai dengan syarat Al-Bukhari dan Muslim.

Faidah:

Nama lelaki pemilik sarung di atas adalah Amr bin Zurarah, sebagaimana dalam riwayat Ath-Thabarani dari hadits Abu Umayyah. Dia (Ath-Thabarani) meriwayatkan hadits ini dari beberapa jalan darinya (Abu Umayyah) dan perawi salah satu dari jalan-jalan itu semuanya tsiqah, sebagaimana dalam Al-Majma’ (5/124)

Ahmad juga meriwayatkannya (4/200) dari Amr yang sama, tapi dia menamakannya Amr bin Fulan Al-Anshari.

Sanadnya shahih dan semua perawinya adalah perawi Imam Enam kecuali Al-Walid bin Sulaiman, dan dia adalah rawi yang tsiqah sebagaimana dalam At-Taqrib, dan Al-Haitsami berkata, ”Semua perawinya tsiqah.”

Dalam permasalahan ini juga ada hadits dari Ali bin Abi Thalib, bahwa Hamzah t memandang kedua lutut Nabi r kemudian memandang pusar beliau, dan selengkapnya akan datang sebentar lagi insya Allah Ta’ala.

Dalam hadits-hadits ini terdapat pendalilan bahwa lutut bukanlah aurat, dan ini bisa ditinjau dari dua sisi:

Pertama: Ar-Rasul r membukanya tanpa ada keperluan yang mendesak. Sementara ucapan Asy-Syaukani (2/55), ”Sesungguhnya berhujjah dengan hadits ini bahwa lutut bukanlah aurat adalah hujjah yang tidak sempurna, karena beliau membuka lututnya karena adanya uzur, yaitu untuk memasukkan kakinya ke dalam air. Di tambah lagi beliau perbuatan beliau menutupinya dari Utsman memberikan kesan bahwa dia adalah aurat. Seandainya mungkin untuk memberikan alasan lain dari perbuatan beliau menutupinya dari Utsman dengan alasan selain itu, maka paling tidak hadits ini masih mengandung kemungkinan,” ini adalah ucapan yang tertolak (dengan dua alasan, pent.).

Adapun yang pertama: Karena hadits ini menegaskan bahwa beliau -alaihishshalatu wassalam- duduk pada sebuah tempat yang padanya ada air lalu beliau menyingkap kedua lututnya. Ini berarti bahwa Nabi r duduk sambil menjulurkan kedua kakinya ke dalam air. Kalau begitu apa uzur beliau untuk membukan kedua lutut kalau dia memang aurat? Bukankah Nabi r bisa dengan hanya memasukkan kedua betisnya ke dalam air tanpa membuka auratnya?!

Makna yang saya sebutkan ini didukung dengan keterangan bahwa Imam Ahmad meriwayatkan hadits ini (4/407) dari jalan lain dari Abu Musa dia berkata, ”Sesungguhnya Rasulullah r pernah berada pada sebuah kebun di Madinah di qaff sumur (yakni: Tempat untuk duduk yang dibuat di sekeliling sumur) sambil menjulurkan kedua kaki beliau. Lalu Abu Bakar mengetuk pintu …,” sampai akhir hadits.

Hadits yang semakna dengannya diriwayatkan oleh Muslim (7/118) dari jalan ketiga dengan lafazh, ”Beliau duduk di tengah qaff sumur lalu membuka kedua betis beliau dan memasukkan keduanya ke dalam sumur.”

Riwayat ini tidak kontradiksi dengan riwayat Al-Bukhari yang tegas menyebutkan bahwa beliau menyingkap lututnya, karena riwayat Al-Bukhari mengandung tambahan lafazh dari rawi yang tsiqah dan tambahan seperti ini diterima berdasaran kesepakatan ulama. Sebagaimana pula tidak ada kontradiksi antara riwayat Al-Bukhari ini dengan riwayat Aisyah dan selainnya yang tegas menyebutkan tersingkapnya paha, dengan sebab dan alasan yang sama. Ini kalau dipandang kejadiannya sama, adapun kalau kejadian seperti ini (duduk di tepi sumur, pent.) berulang maka tidakada permasalahan.

Adapun yang kedua: Karena perbuatan beliau menutup lutut dari Utsman itu hanyalah sebagai perlakuan yang khusus dari beliau r kepada Utsman t karena beliau (Utsman) adalah orang yang sangat pemalu, sebagaimana beliau menutup paha beliau darinya -sebagaimana yang telah berlalu-. Hal ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa beliau menutupinya karena dia adalah aurat. Bagaimana tidak, sementara beliau -alaihissalam- telah membuka lututnya di hadapan orang selain Utsman, sebagaimana yang tegas disebutkan dalam hadits Aisyah dan selainnya dan sebagaimana yang nampak dari hadits Abu Musa ini. Karena dia (Abu Musa) meriwayatkan kisah ini yang dia menyaksikannya sendiri dengan mata kepalanya. Maksud saya beliau -alaihissalam- tidak menutup lututnya dari Abu Musa sebagaimana dia menutupinya dari Utsman. Inilah yang bisa saya sampaikan berkenaan kritikan terhadap ucapan Asy-Syaukani.

Seandainya pun kita menganggap bahwa ucapannya itu benar, maka yang menjadi dalil bahwa lutut bukanlah aurat adalah perkara yang kedua: Yaitu Abu Bakar menyingkap kedua lututnya -dan demikian pula Amr bin Zurarah- di hadapan beliau -alahissalam- dan beliau tidak mengingkari keduanya. Seandainya dia adalah aurat, niscaya beliau r akan mengingkari mereka berdua sebagaimana beliau mengingkari Jarhad Al-Aslami ketika beliau bertemu dengannya dan pahanya terlihat, maka beliau r bersabda, ”Tutuplah pahamu karena paha adalah aurat,” -seandainya haditsnya shahih-, akan tetapi hadits ini tidak shahih sebagaimana yang telah berlalu penjelasannya secara terperinci. Maka diamnya beliau -alaihissalam- terhadap kejadiann tersebut menunjukkan bahwa lutut bukanlah aurat. Karenanya Al-Hafizh berkata (7/17) dalam syarah hadits Abu Ad-Darda`, ”Dalam hadits ini terdapat keterangan bahwa lutut bukanlah aurat.”

Di sina ada dalil yang ketiga: Yaitu kisah dimana Hamzah t memandang lutut Nabi r. Maka dalam kisah ini -dimana beliau -alaihissalam- menyingkap lututnya- ada kejadian orang lain memandang lutut beliau. Seandainya dia adalah aurat, niscaya Allah tidak akan membiarkan Hamzah dan tidak pula selainnya untuk melihat kepadanya, sebagaimana alasan semisal yang dikemukakan oleh Ibnu Hazm dalam masalah pusar, dan ucapan beliau akan datang.

Maka yang benarnya adalah bahwa semua hadits ini adalah dalil yang tegas menunjukkan bahwa lutut bukanlah aurat, dan ini adalah pendapat Asy-Syafi’i. An-Nawawi berkata (3/169), ”Inilah yang masyhur dari mazhab kami, dan ini adalah pendapat Malik, sekelompok ulama dan salah satu riwayat dari Ahmad. Sementara Abu Hanifah dan Atha` berkata: Dia adalah aurat.”
Ini adalah pendapat yang lemah, bertentangan dengan semua hadits-hadits shahih yang telah berlalu.

[Diterjemah dari kitab Ats-Tsamar Al-Mustathab Bab Shalat: Wajibnya menutup aurat, karya Asy-Syaikh Al-Albani]

Sumber :

Abu Muawiah

http://al-atsariyyah.com/?p=529

13 Desember 2008

Suara Wanita Aurat ?

SOAL :

Bolehkan akhwat menyanyi pada waktu masiroh (long march/demo damai), padahal di situ ada ikhwan. Apalagi nyanyinya merdu. Suara wanita itu ‘kan aurat. (Addina, Palangkaraya). 


JAWAB :

Menurut pemahaman kami, suara wanita bukanlah aurat, selama tidak disuarakan dengan cara yang melanggar syara’, misalnya dengan suara manja, merayu, mendesah, dan semisalnya. Maka dari itu, boleh akhwat bernyanyi dalam sebuah masirah, dengan syarat tidak disertai perbuatan haram dan maksiat, seperti ikhtilath (campur baur pria wanita), membuka aurat, dan sebagainya. 

Dalil bahwa suara wanita bukan aurat, adalah Al-Qur`an dan As-Sunnah. Dalil dari Al-Qur`an terdapat dalam dalil-dalil umum yang mewajibkan, menyunnahkan, atau memubahkan berbagai aktivitas, yang berarti mencakup pula bolehnya wanita melakukan aktivitas-aktivitas itu. Wanita berhak dan berwenang melakukan aktivitas jual beli (QS 2: 275; QS 4:29), berhutang piutang (QS 2:282), sewa menyewa (ijarah) (QS 2:233; QS 65:6), memberikan persaksian (QS 2:282), menggadaikan barang (rahn) (QS 2:283), menyampaikan ceramah (QS 16:125; QS 41:33), meminta fatwa (QS 16:43), dan sebagainya. Jika aktivitas-aktivitas ini dibolehkan bagi wanita, artinya suara wanita bukanlah aurat sebab semua aktivitas itu adalah aktivitas yang berupa perkataan-perkataan (tasharrufat qauliyah). Jika suara wanita aurat, tentu syara’ akan mengharamkan wanita melakukannya (Muhammad Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf An-Nas, hal. 106). 

Adapun dalil As-Sunnah, antara lain bahwa Rasulullah SAW mengizinkan dua wanita budak bernyanyi di rumahnya (Shahih Bukhari, hadits no. 949 & 952; Shahih Muslim, hadits no. 892). Pernah pula Rasulullah SAW mendengar nyanyian seorang wanita yang bernazar untuk memukul rebana dan bernyanyi di hadapan Rasulullah (HR. Tirmidzi, dinilainya sahih. Imam Asy-Syaukani, Nailul Authar, VII/119). Dalil As-Sunnah ini menunjukkan suara wanita bukanlah aurat, sebab jika aurat tentu tidak akan dibiarkan oleh Rasulullah (Abdurrahman Al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 69-70).

Namun demikian, syara’ mengharamkan wanita bersuara manja, merayu, mendesah, dan semisalnya, yang dapat menimbulkan hasrat yang tidak-tidak dari kaum lelaki, misalnya keinginan berbuat zina, berselingkuh, berbuat serong, dan sebagainya. Firman Allah SWT (artinya) : “...maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (QS Al-Ahzab [33] : 32).

Suara wanita yang seperti itulah yang diharamkan, bukan suara wanitanya itu sendiri. Jadi, suara wanita itu bukanlah aurat yang tidak boleh diperdengarkan.

Maka dari itu, boleh hukumnya wanita bernyanyi dalam acara masirah tersebut, sebab suara wanita bukanlah aurat. Namun dengan 2 (dua) syarat. Pertama, suara itu dalam batas kewajaran, bukan sengaja dibikin mendesah-desah, mendayu-dayu, merayu, dan semisalnya. Kedua, perbuatan itu tidak disertai perbuatan-perbuatan haram dan maksiat, seperti ikhtilath, membuka aurat, dan sebagainya. Wallahu a’lam [ ]

Sumber :

http://www.khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view&id=53&Itemid=3

27 Agustus 2005

Ratih Sanggarwati : Menutup Aurat Demi 'Menolong' Bapak

Siapa yang tidak kenal Ratih Sanggarwati? Orang mengenalnya sebagai seorang peragawati papan atas yang sering menghiasi berbagai media di Indonesia terutama pada tahun 1990-an. Setelah melalui proses pergolakan pemikiran yang panjang, akhirnya pada tahun 2000 Ratih memperoleh hidayah dan memutuskan untuk menggunakan jilbab. Tak tanggung-tanggung, ia juga menjadi 'corong' dalam menyosialisasikan busana Muslimah ke semua kalangan.

Ada beberapa faktor yang mendukung keputusan Ratih Sang untuk menutup auratnya. Salah satu faktor pendorong yang terbesar adalah kecintaan terhadap Allah dan almarhum ayahnya, Bagus Giyanto. Ratih berambisi menjadi anak saleh agar doanya untuk sang ayah terkabul.

Pengajian Ustadz Othman Shihab suatu ketika di akhir tahun 1990-an mengendap dalam benak Ratih Sanggarwati berbulan-bulan. ''Doa anak yang saleh akan langsung diterima oleh Allah. Kalau ingin doa saya untuk bapak diterima, maka harus menjadi anak yang saleh,'' ujar Ratih, usai acara Heart to Heart with Ratih Sanggarwati di Bandung, Rabu (12/4), mengutip isi pengajian itu.

Keinginan berjilbab pun mengental.

''Pada saat berpikir untuk menggunakan jilbab, saya berdialog dengan diri sendiri. Saya bisa menolong bapak saya kalau menggunakan jilbab dan saya pun sudah memiliki dua anak yang harus dipertanggungjawabkan nanti,'' ujarnya, menirukan dialog dengan hatinya yang dilakukan pada saat memutuskan berjilbab.

Sebagai anak, yang diinginkannya hanya satu, berbakti. Tapi sang ayah sudah tiada. Maka satu-satunya bakti dia adalah berdoa. ''Saya berdebar-debar. Saya ingin bapak saya berada dalam barisan umat Rasulullah di surga,'' ujarnya. Saat itu, dorongan memakai jilbab sama kuatnya dengan penolakan untuk tidak berjilbab. Ada empat hal yang menghantui dirinya. Yaitu, takut keluarga tidak menerima, takut popularitas dan penghasilannya berkurang, serta takut kehilangan teman.

Keempat hal itu silih berganti dengan bayangan ayah dan kedua buah hatinya, menari-nari di otaknya. ''Pada waktu itu, saya menghadapi dilema antara harus membela bapak dan risiko mengorbankan kehidupan saya sendiri. Namun, saya kemudian berdoa kepada Allah untuk memberikan kemudahan pada saat menggunakan jilbab nanti,'' ujarnya. Ia pun mantap berjilbab.

Menjadi shalehah itu, sambung Ratih, artinya harus menjaga hati agar terus bertakwa. ''Siapa pun bisa, asal ada kemauan,'' ujarnya. Namun ia mempunyai perumpamaan mengenai keshalehan dengan busana Muslimah. ''Hal itu sama saja dengan seseorang yang mau menjadi saleh tapi tidak mau puasa,'' ujarnya. Karena, kata dia, sebetulnya shalehah itu meliputi ketakwaan dan ketakwaan itu mengikuti semua yang dianjurkan oleh Allah SWT. ''Jangan main dengan aturan sendiri. Aturannya kan sudah ada aturan dari Allah, itu kalau kita mau dibilang shaleh dan takwa. Memang terserah, kalau tidak mau mengikuti aturan Allah monggo-monggo saja,'' katanya. ( )

Sumber :

http://mualaf.com/kisah-a-pengalaman/pengalaman-rohani/36-Pengalaman%20Rohani/504-ratih-sanggarwati--menutup-aurat-demi-menolong-bapak

18 Februari 2008

Mencegah Kanker Kulit Dengan Menutup Aurat

Kulit tubuh kita memiliki fungsi yang begitu berharga. Di antara fungsinya ialah melindungi tubuh dari panas, sinar, infeksi, dan injuri.

Kulit juga berfungsi untuk menyimpan air, lemak, dan vitamin D. Lalu, bagaimana jika kulit kita yang multi fungsi itu terserang kanker (yang lazim disebut dengan kanker kulit)?

Kanker kulit adalah salah satu bentuk panyakit kulit berupa sel kanker yang tumbuh pada lapisan luar kulit.

Apa penyebabnya?

Diantara faktor yang menjadi pamicu munculnya kanker kulit ini ialah sinar matahari dan ultra violet. Kedua sinar ini bersifat merusak. Dan kerusakan itulah yang bisa berlamjut menjadi kanker. Selain itu, faktor lain seperti hereditas atua genetic dan lingkungan tempat tinggal juga ikut berpengaruh terhadap munculnya penyakit yang lumayan erbahaya ini.


Dua hal yang mempengaruhi kerusakan kulit akibat sinar matahari ini ialah terlalu banyaknya jumlah sinar yang diterima kulit selama bertahun-tahun, dan seringnya expose dengan sinar matahari. Hal itu bisa menybabkan terbakarnya kulit sehingga terjadilah ksnker kulit. Umumnya manusia menerima 80% paparan terhadap sinar matahari ada usia 18 tahun kehidupan. Karena itu dianjurkan untuk memproteksi anak-anak dari sinar matahari sejak usia dini.

Kanker kulit berkembang sangat lambat. Efek terbakarnya kulit oleh sinar matahari yang kita terima minggu ini membutuhkan waktu selama 20 tahun untuk menjadi kanker kulit.

Faktor Hereditas

Faktor keturunan (hereditas) juga berpengaruh terhadap munculnya kanker kulit. Riwayat kanker kulit bawaan dari keluarga dapat meningkakan kemungkinan makin tingginya resiko terkena. Orang kulit terang dengan keturunan bagian utara eropa mempunyai faktor resiko lebih besar.

Bahaya Sinar Ultraviolet

Level sinar ultraviolet saat ini lebih tinggi dari 50 atau 100 tahun yang lalu. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya lapisan ozon dari atmosfer bumi. Ozon berfungsi sebagai filter untuk menyaring sinar ultraviolet yang masuk ke permukaan bumi. Dengan makin tipisnya ozon pada atmosfer maka makin tinggi pula tingkat sinar ultraviolet yang masuk ke permukaan bumi. Satu faktor yang dapat mengurangi intensitas sinar ultraviolet yang sampai ke bumi ialah awan di langit.

Mengurangi Resiko Kanker Kulit

Ada beberapa langkah yang telah direkomendasikan oleh American Academy of Dermatologi and Skin Cancer Fondation untuk mengurangi resiko kanker kulit, berikut urainnya:

§ Minimalkan expose dengan sinar matahari pada tengah hari, antarapagi jam 10.00 hingga 03.00 (sore).

§ Pakailah sunscreen dengan sedikitnya SPF-15 atau lebih tinggi ke seluruh bagian tubuh yang ter-expose sinar matahari.

§ Oleskan lagi sunscreen setiap 2 jam, bahkan saat mendung sekalipun. Ulangi setelah berenang atau berkeringat.

§ Pakailah pakaian yang menutupi tubuh dan wajah (topi juga dianjurkan sebagai pelengkap untuk menutup dua bagian sekaligus, yaitu wajah dan leher).

§ Hindari exposedengan radiasi ultraviolet pada lampu.

§ Lindungi anak-anak dari paparan sinar matahari yang sangat menyengat pada jam 10.00 (pagi) hingga jam 03.00 (sore).

§ Gunakan suncreen hanya untuk anak usia 6 bulan ke atas.Anak-anak usia 6 bulan ke bawah harus dihindarkan dari paparan sinar pada jam-jam ini.

Menutup aurat, sebuah Solusi

Dari fakta ilmiah yang ditulis oleh ilmuwan yang notabene orang barat itu, secra jelas dan nyata dapat disimpulkan bahwa menutup aurot secara syar’I benar-benar telah melindungi kaum muslimin (terutama muslimat) dari bahaya khususnya kanker kulit. Hal yang sangat mereka (orang kafir) tentang habis-habisan justru ternyata mereka buktikan sendiri sebagian manfaatnya bagi manusia.Bahkan, mereka sendiri yang membuat rekomendasi agar menutup tubuh guna melindunginya dari paparan sinar matahari. Kian hari lapisan ozon makin tipis, dn resiko terserang kanker kulit bertambah tinggi. (Dari berbagai sumber)

Sumber :

http://www.islamic-center.or.id/-slamiclearnings-mainmenu-29/syariah-mainmenu-44/27-syariah/645-mencegah-kanker-kulit-dengan-menutup-aurat-

Mengobral Aurat Merusak Masyarakat

Seorang perempuan cerdik dan shalihah Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah berkata: “Sungguh, musuh-musuh Islam telah mengetahui bahwa keluarnya kaum perempuan dengan mempertontonkan aurat adalah sebuah gerbang diantara gerbang-gerbang menuju kejelekan dan kehancuran. Dan dengan hancurnya mereka maka hancurlah masyarakat. Oleh karena itulah mereka sangat bersemangat mengajak kaum perempuan supaya rela menanggalkan jilbab dan rasa malunya…” (Nasihati li Nisaa’, hal. 91) Beliau juga mengatakan: “Sesungguhnya persoalan tabarruj (mempertontonkan aurat) bukan masalah ringan karena hal itu tergolong perbuatan dosa besar.” (Nasihati li Nisaa’, hal. 95)


Mulia dengan Pakaian Takwa

Allah ta’ala berfirman,

يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ

“Hai anak Adam, Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, Mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (QS. Al-A’raaf: 26)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang aurat, maka beliau bersabda, “Jagalah auratmu, kecuali dari (penglihatan) suamimu atau budak yang kau punya.” Kemudian beliau ditanya, “Bagaimana apabila seorang perempuan bersama dengan sesama kaum perempuan ?” Maka beliau menjawab, “Apabila engkau mampu untuk tidak menampakkan aurat kepada siapapun maka janganlah kau tampakkan kepada siapapun.” Lalu beliau ditanya, “Lalu bagaimana apabila salah seorang dari kami (kaum perempuan) sedang bersendirian ?” Maka beliau menjawab, “Engkau lebih harus merasa malu kepada Allah daripada kepada sesama manusia.” (HR. Abu Dawud [4017] dan selainnya dengan sanad hasan, lihat Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal. 381)

Perintah Berjilbab

Allah ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

“Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 59)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di berkata: “Ayat yang disebut dengan ayat hijab ini memuat perintah Allah kepada Nabi-Nya agar menyuruh kaum perempuan secara umum dengan mendahulukan istri dan anak-anak perempuan beliau karena mereka menempati posisi yang lebih penting daripada perempuan yang lainnya, dan juga karena sudah semestinya orang yang menyuruh orang lain untuk mengerjakan suatu (kebaikan) mengawalinya dengan keluarganya sendiri sebelum menyuruh orang lain. Hal itu sebagaimana difirmankan Allah ta’ala (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 272)

Abu Malik berkata: “Ketahuilah wahai saudariku muslimah, bahwa para ulama telah sepakat wajibnya kaum perempuan menutup seluruh bagian tubuhnya, dan sesungguhnya terjadinya perbedaan pendapat –yang teranggap- hanyalah dalam hal menutup wajah dan dua telapak tangan.” (Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal. 382)

Perintah itu Khusus untuk Isteri Nabi ?

Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah berkata: “Ada segolongan orang yang mengatakan bahwa hijab (jilbab) adalah dikhususkan untuk para isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebab Allah berfirman (yang artinya): “Wahai para isteri Nabi, kalian tidaklah seperti perempuan lain, jika kalian bertakwa. Maka janganlah kalian melembutkan suara karena akan membangkitkan syahwat orang yang di dalam hatinya tersimpan penyakit. Katakanlah perkataan yang baik-baik saja.” (QS. Al-Ahzab: 32) Maka jawabannya adalah: Sesungguhnya kaum perempuan dari umat ini diharuskan untuk mengikuti isteri-isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wa sallam kecuali dalam perkara yang dikhususkan oleh dalil. Syaikh Asy-Syinqithi mengatakan di dalam Adhwa’ul Bayan (6/584) tatkala menjelaskan firman Allah: “Apabila kalian meminta sesuatu kepada mereka (isteri Nabi) maka mintalah dari balik hijab, yang demikian itu akan lebih membersihkan hati kalian dan hati mereka…” (QS. Al-Ahzab: 53) Alasan hukum yang disebutkan Allah dalam menetapkan ketentuan ini yaitu mewajibkan penggunaan hijab karena hal itu lebih membersihkan hati kaum lelaki dan perempuan dari godaan nafsu di dalam firman-Nya, “yang demikian itu lebih membersihkan hati mereka dan hati kalian.” merupakan suatu indikasi yang sangat jelas yang menunjukkan maksud keumuman hukum. Dengan begitu tidak akan ada seorangpun diantara seluruh umat Islam ini yang berani mengatakan bahwa selain isteri-isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wa sallam tidak membutuhkan kebersihan hati kaum perempuan dan kaum lelaki dari godaan nafsu dari lawan jenisnya…” “Beliau berkata: “Dengan keterangan yang sudah kami sebutkan ini maka anda mengetahui bahwa ayat yang mulia ini menjadi dalil yang sangat jelas yang menunjukkan bahwa wajibnya berhijab adalah hukum umum yang berlaku bagi seluruh kaum perempuan, tidak khusus berlaku bagi para isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wa sallam saja, meskipun lafal asalnya memang khusus untuk mereka, karena keumuman sebab penetapan hukumnya menjadi dalil atas keumuman hukum yang terkandung di dalamnya. Dengan itu maka anda mengetahui bahwa ayat hijab itu berlaku umum karena keumuman sebabnya. Dan apabila hukum yang tersimpan dalam ayat ini bersifat umum dengan adanya indikasi ayat Al-Qur’an maka ketahuilah bahwa hijab itu wajib bagi seluruh perempuan berdasarkan penunjukan Al Qur’an.” (Nasihati li Nisaa’, hal. 94-95)

Hakikat jilbab

Di dalam kamus dijelaskan bahwa jilbab adalah gamis (baju kurung panjang, sejenis jubah) yaitu baju yang bisa menutup seluruh tubuh dan juga mencakup kerudung serta kain yang melapisi di luar baju seperti halnya kain selimut/mantel (lihat Mu’jamul Wasith, juz 1, hal. 128, Al Munawwir, cet ke-14 hal.199)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di berkata: “Yang dimaksud jilbab adalah pakaian yang berada di luar lapisan baju yaitu berupa kain semacam selimut, kerudung, selendang dan semacamnya.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 272)

Imam Ibnu Katsir menjelaskan: “Jilbab adalah selendang yang dipakai di luar kerudung. Pendapat ini disampaikan oleh Ibnu Mas’ud, Abu ‘Ubaidah (di dalam Maktabah Syamilah tertulis ‘Ubaidah, saya kira ini adalah kekeliruan, -pent), Qatadah, Hasan Al Bashri, Sa’id bin Jubair, Ibrahim An-Nakha’i, Atha’ Al Khurasani dan para ulama yang lain. Jilbab itu berfungsi sebagaimana pakaian yang biasa dikenakan pada masa kini (di masa beliau, pent). Sedangkan Al Jauhari berpendapat bahwa jilbab adalah kain sejenis selimut.” (Tafsir Ibnu Katsir, Maktabah Syamilah)

Syarat-Syarat Busana Muslimah

Para ulama mempersyaratkan busana muslimah berdasarkan penelitian dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai berikut:

Harus menutupi seluruh tubuh, hanya saja ada perbedaan pendapat dalam hal menutup wajah dan kedua telapak tangan. Dalilnya adalah QS. An-Nuur : 31 serta QS. Al-Ahzab : 59. Sebagian ulama memfatwakan bahwa diperbolehkan membuka wajah dan kedua telapak tangan, hanya saja menutupnya adalah sunnah dan bukan sesuatu yang wajib.

Pakaian itu pada hakikatnya bukan dirancang sebagai perhiasan. Dalilnya adalah ayat yang artinya, “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang bisa tampak.” (QS. An-Nuur : 31) Sebagian perempuan yang komitmen terhadap syari’at mengira bahwa semua jilbab selain warna hitam adalah perhiasan. Penilaian itu adalah salah karena di masa Nabi sebagian sahabiyah pernah memakai jilbab dengan warna selain hitam dan beliau tidak menyalahkan mereka. Yang dimaksud dengan pakaian perhiasan adalah yang memiliki berbagai macam corak warna atau terdapat unsur dari bahan emas, perak dan semacamnya. Meskipun begitu penulis Fiqhu Sunnah li Nisaa’ berpendapat bahwa mengenakan jilbab yang berwarna hitam itu memang lebih utama karena itu merupakan kebiasaan para isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Pakaian itu harus tebal, tidak boleh tipis supaya tidak menggambarkan apa yang ada di baliknya. Dalilnya adalah hadits yang menceritakan dua golongan penghuni neraka yang salah satunya adalah para perempuan yang berpakaian tapi telanjang (sebagiamana tercantum dalam Shahih Muslim) Maksud dari hadits itu adalah para perempuan yang mengenakan pakaian yang tipis sehingga justru dapat menggambarkan lekuk tubuh dan tidak menutupinya. Walaupun mereka masih disebut orang yang berpakaian, namun pada hakikatnya mereka itu telanjang.

Harus longgar, tidak boleh sempit atau ketat karena akan menampakkan bentuk atau sebagian dari bagian tubuhnya. Dalilnya adalah hadits Usamah bin Zaid yang menceritakan bahwa pada suatu saat beliau mendapat hadiah baju yang tebal dari Nabi. Kemudian dia memberikan baju tebal itu kepada isterinya. Namun karena baju itu agak sempit maka Nabi menyuruh Usamah agar isterinya mengenakan pelapis di luarnya (HR. Ahmad, memiliki penguat dalam riwayat Abu Dawud) Oleh sebab itu hendaknya para perempuan masa kini yang gemar memakai busana ketat segera bertaubat.

Tidak perlu diberi wangi-wangian. Dalilnya adalah sabda Nabi: “Perempuan manapun yang memakai wangi-wangian kemudian berjalan melewati sekelompok orang agar mereka mencium keharumannya maka dia adalah perempuan pezina.” (HR. An-Nasa’i, Abu Dawud dan Tirmidzi dari sahabat Abu Musa Al-Asy’ari) Bahkan Al-Haitsami menyebutkan bahwa keluarnya perempuan dari rumahnya dengan memakai wangi-wangian dan bersolek adalah tergolong dosa besar, meskipun dia diizinkan oleh suaminya.

Tidak boleh menyerupai pakaian kaum lelaki. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, beliau berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat kaum laki-laki yang sengaja menyerupai kaum perempuan dan kaum perempuan yang sengaja menyerupai kaum laki-laki.” (HR. Bukhari dan lain-lain) Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat lelaki yang mengenakan pakaian perempuan dan perempuan yang mengenakan pakaian laki-laki.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad dengan sanad sahih)

Tidak boleh menyerupai pakaian khas perempuan kafir. Ketentuan ini berlaku juga bagi kaum lelaki. Dalilnya banyak sekali, diantaranya adalah kejadian yang menimpa Ali. Ketika itu Ali memakai dua lembar baju mu’ashfar. Melihat hal itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ini adalah pakaian kaum kafir. Jangan kau kenakan pakaian itu.” (HR. Muslim, Nasa’i dan Ahmad)

Bukan pakaian yang menunjukkan ada maksud untuk mencari popularitas. Yang dimaksud dengan libas syuhrah (pakaian popularitas) adalah: Segala jenis pakaian yang dipakai untuk mencari ketenaran di hadapan orang-orang, baik pakaian itu sangat mahal harganya –untuk memamerkan kakayaannya- atau sangat murah harganya –untuk menampakkan kezuhudan dirinya- Ibnu ‘Umar radhiyallahu’anhuma mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang memakai busana popularitas di dunia maka Allah akan mengenakan busana kehinaan pada hari kiamat, kemudian dia dibakar api di dalamnya.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah dengan sanad hasan lighairihi) (syarat-syarat ini diringkas dengan sedikit perubahan dari Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal. 382-391)

Yang Boleh Melepaskan Jilbab

Allah ta’ala berfirman,

وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللاتِي لا يَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ وَأَنْ يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَهُنَّ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), Tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) Menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nuur: 60)

Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah berkata: “Yang dimaksud dengan Al-Qawa’id adalah perempuan-perempuan tua, maka kandungan ayat ini menunjukkan bolehnya perempuan tua yang sudah tidak punya hasrat menikah untuk melepaskan pakaian mereka.”

Imam Asy-Syaukani mengatakan: “Yang dimaksud dengan perempuan yang duduk (Al-Qawa’id) adalah kaum perempuan yang sudah terhenti dari melahirkan (menopause). Akan tetapi pengertian ini tidak sepenuhnya tepat. Karena terkadang ada perempuan yang sudah terhenti dari melahirkan sementara pada dirinya masih cukup menyimpan daya tarik.” … … … “Sesungguhnya mereka (perempuan tua) itu diizinkan melepasnya karena kebanyakan lelaki sudah tidak lagi menaruh perhatian kepada mereka. Sehingga hal itu menyebabkan kaum lelaki tidak lagi berhasrat untuk mengawini mereka maka faktor inilah yang mendorong Allah Yang Maha Suci membolehkan bagi mereka (perempuan tua) sesuatu yang tidak diizinkan-Nya kepada selain mereka. Kemudian setelah itu Allah masih memberikan pengecualian pula kepada mereka. Allah berfirman: “dan bukan dalam keadaan mempertontonkan perhiasan.” Artinya: tidak menampakkan perhiasan yang telah diperintahkan untuk ditutupi sebagaimana tercantum dalam firman-Nya, “Dan hendaknya mereka tidak menampakkan perhiasan mereka.” Ini berarti: mereka tidak boleh sengaja memperlihatkan perhiasan mereka ketika melepas jilbab dan sengaja mempertontonkan keindahan atau kecantikan diri supaya kaum lelaki memandangi mereka…” (dinukil dari Nasihati li Nisaa’, hal. 87-88)

Syaikh Abu Bakar Al-Jaza’iri berkata: “Al-Qawa’idu minan nisaa’ artinya: kaum perempuan yang terhenti haidh dan melahirkan karena usia mereka yang sudah lanjut.” (Aisarut Tafasir, Maktabah Syamilah)

Syaikh As-Sa’di berkata: “Al-Qawa’idu minan nisaa’ adalah para perempuan yang sudah tidak menarik untuk dinikmati dan tidak menggugah syahwat.” (Taisir Karimir Rahman, Makbatah Syamilah)

Imam Ibnu Katsir menukil penjelasan Sa’id bin Jubair, Muqatil bin Hayan, Qatadah dan Adh-Dhahaak bahwa makna Al-Qawa’idu minan Nisaa’ adalah: perempuan yang sudah terhenti haidnya dan tidak bisa diharapkan melahirkan anak.” (Tafsir Ibnu Katsir, Maktabah Syamilah)

Adapun yang dimaksud dengan pakaian yang boleh dilepas dalam ayat ini adalah kerudung, jubah, dan semacamnya (lihat Aisarut Tafasir, Maktabah Syamilah)

Meskipun demikian Allah menyatakan: “dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka.” (QS. An-Nuur: 60) Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri menjelaskan: Artinya tidak melepas pakaian tersebut (kerudung dan semacamnya) adalah lebih baik bagi mereka daripada mengambil keringanan.” (lihat Aisarut Tafasir, Maktabah Syamilah)

Perintah Menahan Pandangan

Allah ta’ala berfirman,
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الإرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An-Nuur: 31)

Syaikh As-Sa’di berkata: “Setelah Allah ta’ala memerintahkan kaum lelaki yang beriman untuk menahan pandangan dan menjaga kemaluan maka Allah pun memerintahkan kaum perempuan yang beriman dengan perintah serupa. Allah berfirman, “Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya,” yaitu menahan pandangan dari melihat aurat dan kaum lelaki dengan disertai syahwat atau pandangan sejenis yang terlarang.” “Dan hendaknya mereka menjaga kemaluan mereka.” Yaitu supaya terjaga dari perbuatan berjima’, menyentuh atau memandangnya dengan cara yang diharamkan. “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka.” Seperti baju yang indah dan barang perhiasan. Dan seluruh tubuh adalah termasuk perhiasan…” (Taisir Karimir Rahman, hal. 566)

Sedangkan yang dimaksud dengan illa maa zhahara minhaa atau yang biasa nampak darinya adalah: wajah dan telapak tangan. Inilah pendapat yang dipilih oleh Imam Ath-Thabari di dalam tafsirnya (18/84). Diantara dalilnya adalah peristiwa yang dialami oleh Fadhl bin Abbas bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hajjatul wada’. Ketika itu ada seorang perempuan yang meminta fatwa kepada Nabi. Ibnu Abbas yang meriwayatkan hadits ini mengatakan: “…maka Fadhl mulai mengarahkan pandangannya kepada perempuan itu, sedangkan dia adalah seorang perempuan yang cantik. Maka Nabi pun memegang dagu Fadhl dan memalingkan mukanya ke arah yang lain.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ibnu Hazm berkata: “Seandainya wajah adalah aurat maka wajib baginya untuk menutupinya…” Perkataan Ibnu Abbas: sedangkan dia adalah perempuan yang cantik, juga menunjukkan bahwa wajah perempuan itu terbuka dan ketika itu Rasul sama sekali tidak memerintahkannya untuk menutupinya. (lihat Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal. 384-385)

Situasi yang Membolehkan Memandang Perempuan

Diantara keadaan yang membolehkan lelaki untuk melihat perempuan adalah:

Ketika melamar (khitbah). Abu Malik berkata: “Para ulama sepakat tentang bolehnya seorang lelaki memandangi perempuan yang benar-benar ingin dinikahinya.”

Melihat untuk keperluan pengobatan. Pada asalnya hendaknya pasien perempuan dilayani oleh dokter perempuan, namun tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwasanya laki-laki diperbolehkan mengobati pasien perempuan dan melihat bagian tubuhnya yang sakit apabila itu memang benar-benar dibutuhkan dan harus memperhatikan batasan syari’at yang sudah ditentukan, diantara syaratnya adalah: Hendaknya lebih didahulukan dokter perempuan dalam mengobati pasien perempuan, hendaknya dokter lelaki itu adalah orang yang amanah dan baik agama serta akhlaqnya, tidak boleh berdua-duaan tanpa ada mahram atau perempuan lain yang bisa dipercaya, hanya melihat bagian tubuh yang dibutuhkan tidak boleh melampaui batas dan pasien itu benar-benar menderita penyakit yang sangat membutuhkan pengobatannya.

Hakim dan saksi yang melihat perempuan yang terlibat dalam kasus persidangan.

Melihat untuk keperluan mu’amalah semacam transaksi jual beli barang. Imam Nawawi berkata: “Boleh bagi lelaki melihat wajah perempuan lain ketika persaksian dan jual beli. Demikian pula sebaliknya, dia boleh melihat lelaki itu.” (diringkas dari Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal. 403-404)

Jangan Bertabarruj

Allah ta’ala berfirman,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأولَى وَأَقِمْنَ الصَّلاةَ وآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu bertabarruj seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al-Ahzab: 33)

Abu Malik mengatakan: “Yang dimaksud dengan tabarruj adalah: seorang perempuan menampakkan perhiasan serta kecantikan dirinya dan bagian-bagian tubuh yang seharusnya ditutupi karena hal itu dapat memancing syahwat kaum lelaki.” (Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal. 381)

Ancaman bagi yang Bertabarruj

Diriwayatkan hadits melalui jalan Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada dua golongan penghuni neraka yang belum pernah kulihat keduanya: Suatu kaum yang membawa cemeti seperti ekor-ekor sapi, dengan alat itu mereka menyiksa orang-orang. Dan juga para perempuan yang berpakaian namun telanjang yang berlenggak-lenggok dan mempertontonkan kecantikannya. Kepala mereka seperti punuk onta yang miring. Mereka tidak masuk surga dan tidak pula mencium baunya. Padahal keharuman surga bisa tercium dari jarak perjalanan sekian dan sekian.” (Muslim [2128], lihat Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal. 382)

Seorang muslimah shalihah Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah berkata: “Hadits ini merupakan salah satu tanda bukti kenabian: berita yang disampaikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wa sallam itu benar-benar telah terjadi.” (Nasihati li Nisaa’, hal. 95) Beliau juga berkata: “Sehingga apabila ada seorang perempuan yang mempertontonkan auratnya (tabarruj) pergi keluar maka dia tercakup oleh (ancaman di dalam) hadits ini.” (Nasihati li Nisaa’, hal. 220) Beliau juga mengatakan, “…tabarruj adalah salah satu pintu kerusakan, padahal Allah ‘azza wa jalla telah menyuruh kaum perempuan untuk mengenakan hijab dan menutup diri di hadapan kaum lelaki lain.” (Nasihati li Nisaa’, hal. 220)

Berdandanlah untuk Suami Tercinta

Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah berkata: “Berdandan dan menjaga kebersihan diri merupakan perkara yang disyari’atkan akan tetapi hanya dengan cara yang mubah. Allah ta’ala berfirman,
أَوَمَنْ يُنَشَّأُ فِي الْحِلْيَةِ وَهُوَ فِي الْخِصَامِ غَيْرُ مُبِينٍ

“Dan Apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang Dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran.” (QS. Az-Zukhruf: 18)

Demikian pula kisah Ummu Sulaim ketika ditinggal mati oleh anaknya. Yaitu ketika suaminya Abu Thalhah pulang maka diapun menyajikan hidangan makan malam untuknya. Maka suaminya pun menikmati makanan dan minuman yang disajikannya. Kemudian dia berdandan untuk suaminya dengan dandanan terbaik di luar kebiasaan sebelumnya.” … … … “…’Aisyah radhiyallahu’anha pun sibuk untuk merawat diri dan berdandan untuk melayani Rasul shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wa sallam sehingga membuat sebagian hadits luput dari beliau.” (Nasihati li Nisaa’, hal. 170)

Di dalam hadits Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang kriteria perempuan (isteri) yang terbaik. Maka beliau menjawab, “Yaitu perempuan yang menyenangkan suaminya apabila dipandang, taat kepada suami jika diperintah…” (HR. Nasa’i dan Ahmad, sahih, lihat Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal 456)

Abu Malik berkata: “Ketahuilah saudariku muslimah, disunnahkan (bagimu) memperhatikan urusan rambut dan menyisirnya, meminyaki dan mencucinya dan sebagainya agar engkau bisa tampil menyenangkan di hadapan suamimu. Tidak diragukan lagi bahwa membuat senang suami adalah sesuatu yang dituntut dalam koridor syari’at…” (Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal 412) Selain itu hendaknya dia rajin menggosok gigi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya bukan karena kekhawatiranku kalau memberatkan kaum beriman maka pastilah aku sudah perintahkan mereka mengakhirkan sholat ‘Isyak dan menggosok gigi setiap kali hendak sholat.” (HR. Bukhari dan Muslim) Perempuan juga diperbolehkan menggunakan wangi-wangian, baik wangi-wangian itu khusus untuk perempuan atau yang biasa dipakai kaum lelaki, dengan syarat hal itu dilakukan ketika berada di sisi suaminya saja. Dan apabila dia keluar rumah maka dia harus menghilangkan semerbak harum wewangian yang dikenakannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila salah seorang diantara kalian (kaum perempuan) mendatangi masjid maka janganlah menyentuh minyak wangi.” (HR. Muslim dan Nasa’i) (lebih lengkap lihat Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal.411-426)

Selesai disusun, malam Jum’at, 2 Rabi’u Tsani 1428
Alhamdulillaahilladzi bini’matihi tatimmush shaalihaat

Abu Muslih Ari Wahyudi
Semoga Allah mengampuni

Dan memberikan taufiq kepadanya

http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3801361215965219089

9 Mei 2008

Pengaruh Pakaian dan Aurat pada Wanita

Berbicara masalah dunia pria tidak lepas dari masalah dunia wanita. Betapa banyak peristiwa besar yang terjadi di dunia ini karena peran dan keberadaan wanita. Para Nabi dan Shalihin dahulu pun banyak yang diuji karena wanita. Hingga kini kasus besar yang melanda negeri kita (mengenai perseteruan KPK – Polri – Kejaksaan) berawal dari masalah wanita.

Menyentuh kehidupan wanita, erat kaitannya dengan pembicaraan masalah aurat. Wanita dan auratnya ternyata menjadi pemicu yang ampuh dalam menciptakan skenario fitnah yang terjadi di mana-mana. Awal terjadinya peperangan pertama di zaman Nabi Muhammad Saw adalah disebabkan karena masalah aurat wanita, sebagaimana diriwayatkan dalam suatu hadits,

Ibn Hisyam mengisahkan, ketika itu, seorang wanita Muslimah datang ke pasar Bani Qainuqa’ (kaum Yahudi) dengan membawa perhiasan. Ketika ia sedang duduk menghadapi tukang emas, sejumlah Yahudi berusaha melihat muka si Muslimah, namun wanita muslimah menolak (Kisah lain menyebutkan, Yahudi di situ juga berusaha mencopot jilbabnya). Diam-diam, seorang Yahudi datang dari belakang dan mengikatkan ujung baju si muslimah pada sebatang pengikat. Ketika berdiri, tampaklah aurat muslimah. Mereka beramai-ramai menertawainya, dan wanita itu menjerit-jerit.

Seorang laki-laki Muslim yang lewat disitu segera menerkam tukang emas Yahudi dan membunuhnya. Orang-orang Yahudi lain berdatangan dan membunuh Muslim tersebut. Segera Nabi Muhamad SAW mendatangi Yahudi Bani Qainuqa’ dan mengingatkan mereka, agar memelihara perjanjian damai yang sudah disepakati. Jika tidak, ancam Nabi, maka mereka akan mengalami nasib seperti kaum Quraisy yang kalah dalam Perang Badar. Ancaman Nabi SAW itu malah dilecehkan. Mereka katakan, “Hai Muhammad, jangan kau tertipu karena kau sudah berhadapan dengan suatu golongan yang tidak punya pengetahuan berperang sehingga engkau mendapat kesempatan mengalahkan mereka. Tetapi, kalau sudah kami yang memerangi kau, niscaya akan kau ketahui, bahwa kami inilah orangnya.”

Maka tidak ada pilihan bagi Nabi SAW kecuali memerangi mereka. Setelah dikepung selama 15 hari, Yahudi Bani Qainuqa’ menyerah. Seluruh Bani Qainuqa’ diusir dari Madinah, dan kemudian mereka menetap di daerah Syam (Syiria).

Dari cerita ini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa wanita muslimah pada masa Nabi Saw mengenakan penutup wajah, sehingga orang-orang Yahudi dalam cerita dikisahkan penasaran ingin melihat wajah wanita muslimah. Wajah wanita merupakan pintu fitnah yang mengakibatkan masalah menjadi lebih besar. Kedua, masalah aurat bagi wanita bukanlah masalah yang sepele dan mendapatkan tempat perhatian yang tinggi dan serius dalam ajaran Islam.

Isu yang cukup sensitif berkenaan dengan masalah aurat wanita ini berulang pada masa sekarang. Hanya saja, temanya menjadi seolah terbalik. Kalau dahulu peperangan disebabkan karena aurat wanita muslim dibuka paksa oleh kaum Yahudi, sekarang ‘kemarahan’ dipicu oleh ketidaksenangan pihak yang telah diganggu kebebasannya dalam mengumbar aurat yang dikatakan sebagai kebebasan berekspresi, Hak Azasi Manusia, dan sebagainya. Malah, orang yang sebenarnya ingin mengenakan busana muslim dengan benar, diintimidasi dan dibatasi geraknya oleh kekuasaan negara atau komunitas sosial yang dibentuk dari kekeliruan yang selalu diopinikan masyarakat.

Zaman yang mengasingkan nilai-nilai keislaman telah diisyaratkan oleh Nabi Saw, dan kini kita tidak menyadari bahwa banyak orang telah mengasingkan keberadaan nilai-nilai Islam dalam aturan berbusana. Sehingga keluarlah ungkapan bahwa orang yang berghamis dan bercadar adalah identik dengan kelompok garis keras atau teroris. Mereka tidak mengatakan “Para Teroris itu penampilannya mirip orang Islam!” Inilah bukti bahwa umat Islam sudah merasa asing dengan kehadiran atribut fitrah Islami. Bahkan intelektual muslim sekaliber Dosen atau Rektor Al-Azhar sendiri tidak mampu atau berani memutuskan dengan jelas bahwa Cadar merupakan bagian nilai ajaran Islam. Tapi mereka (dengan sangat hati-hati) menudingnya sebagai produk budaya Arab masa lalu.

Kalau alasan budaya selalu dikemukakan untuk menghindar dari aturan Islam, maka seharusnya bahasa Arab tidak perlu dipakai lagi dalam peribadatan muslim, karena bahasa itu sendiri merupakan produk budaya, dan selalu berubah-ubah serta berkembang makna dan fungsinya. Maka dari itu Islam mengenal istilah ‘Sunnah’ yakni kebiasaan, adat, tradisi , budaya yang bersumber dari apa yang dilakukan dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw dan para Pewarisnya. Apapun yang dilakukan oleh para Nabi (meski terkesan usang) adalah Uswah (teladan) kehidupan yang mesti kita ikuti. ‘Sunnah’ dalam hal ini bukan lagi menjadi perdebatan dalam kerangka budaya atau bukan, tapi tuntunan yang mutlak dipatuhi dan dikerjakan. Firman Allah: “Wamaa aataakumur Rosuulu fakhudzuuhu wamaa nahaakum ‘anhu fantahuu” ["Apa yang didatangkan Rasul kepada kalian ambillah, dan apa yang dilarangnya jauhilah!"]. Q.S. al-Hasyr: 7.

Sumber :

http://tasik-news.com/2009/11/15/pengaruh-pakaian-dan-aurat-pada-wanita/

15 November 2009

Hukum Dokter Membuka Aurat Wanita Dan Berkhalwat Dengannya Untuk Berobat

Oleh
Syaikh Muhammad bin Ibrahim


Pertanyaan.

Syaikh Muhammad bin Ibrahim ditanya : "Apa hukum seorang dokter yang membuka aurat wanita dan berdua-duaan dengan mereka untuk berobat?".


Jawaban.

Pertama : Sesungguhnya wanita adalah aurat dan tempat kepuasan kebutuhan bilogis laki-laki. Karena itu dalam segala kondisi tidak diperbolehkan baginya untuk mengizinan laki-laki membukanya walaupun untuk tujuan pengobatan.


Kedua : Apabila tidak ditemukan seorang dokter wanita yang diperlukan maka diperbolehkan baginya untuk berobat kepada dokter laki-laki, dan hal ini lebih mirip dengan keadaan darurat tetapi harus tetap terikat dengan aturan-aturan yang jelas. Oleh karena itu, para ahli fiqih berkata, keadaan darurat memperbolehkan untuk melakukan suatu hal sesuai dengan sekedar kebutuhan. Maka seorang dokter laki-laki tidak diperbolehkan untuk melihat atau memegang aurat pasien wanitanya yang tidak dibutuhkan untuk dilihatnya ataupun dipegang, dan wajib pula bagi wanita tersebut untuk menutup segala sesuatu yang tidak diperlukan untuk dibuka ketika berobat.

Ketiga : Meski wanita dihukumi sebagai aurat, sesungguhnya aurat wanita bermacam-macam tingkatannya. Di antaranya ada aurat berat dan ada aurat yang lebih ringan darinya. Demikian pula sakit yang diderita oleh wanita, ada sakit yang berbahaya yang tidak boleh ditunda pengobatannya dan ada pula penyakit biasa yang tidak berbahaya apabila pengobatannya ditunda hingga mahramnya hadir untuk menemaninya berobat. Sebagaimana wanita juga bermacam-macam, di antara mereka ada wanita yang sudah tua dan wanita muda yang cantik serta ada pula pertengahan antara keduanya. Di antara mereka ada yang datang dalam keadaan tersiksa oleh penyakitnya dan juga di antara mereka ada yang datang ke rumah sakit tanpa terlihat pengaruh sakitnya. Di antara mereka ada yang dibius lokal atau keseluruhan, dan ada yang cukup diberi pil-pil dan semisalnya. Setiap individu dari mereka ada hukumnya tersendiri.

Atas dasar semua itu maka berdua-duan dengan wnaita selain mahram adalah haram secara syara' meskipun bagi dokter laki-laki yang mengobatinya berdasarkan hadits :

"Artinya : Tidaklah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita kecuali yang ketiganya adalah setan".

Maka harus hadir seseorang bersama keduanya baik suaminya ataupun salah satu mahramnya yang laki-laki. Dan apabila tidak bisa menghadirkan kerabat dekat yang wanita sedangkan sakitnya membahayakannya dan pengobatannya tidak biasa ditunda-tunda lagi, maka paling tidak harus dengan kehadiran seorang perawat wanita untuk menjaga agar tidak terjadi 'khalwat' yang terlarang.

Keempat : Adapun soal tentang hukum aurat anak perempuan yang masih kecil, maka seorang anak perempuan apabila belum berumur tujuh tahun dihukumi tidak mempunyai aurat. Apabila telah mencapai umur tujuh tahun maka ia mempunyai aurat sebagaimana dijelaskan oleh para ahli fiqih meskipun auratnya berbeda dengan aurat wanita yang lebih tua umurnya.

[Fatawa wa Rasailusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 10/12]



KAPAN DIPERBOLEHKAN MEMBUKA AURAT

Oleh

Syaikh Muhammad bin Ibrahim


Pertanyaan.

Syaikh Muhammad bin Ibrahim ditanya : "Kapan aurat diperbolehkan untuk

dibuka ?".

Jawaban.

Aurat hanya boleh dibuka karena adanya penyakit yang membahayakan.


Adapun ungkapan : "Boleh membuka aurat untuk pengobatan" artinya boleh hingga aurat yang berat hanya saja aurat yang berat ini hanya diperbolehkan untuk dibuka dengan sebab suatu penyakit yang sangat berbahaya dan ditakutkan bisa menyebabkan meninggal atau semakin parahnya penyakit tersebut. Adapun sakit yang ringan, menurut saya tidak termasuk dalam ungkapan tersebut. Yang dimaksudkan disini adalah melihat aurat wanita dan laki-laki, dengan catatan bahwa yang diperbolehkan melihat aurat wanita hanyalah kaum wanita sendiri.

Memang pada dasarnya aurat wanita tetap dianggap sebagai aurat di hadapan wanita lain, akan tetapi lebih ringan dibandingkan dengan di hadapan lelaki, karena penyebab timbulnya fitnah tidak ada dalam diri wanita apabila melihat pada aurat wanita lain.

Maksud dari pengobatan di sini adalah pengobatan dari suatu penyakit. Sedangkan untuk tujuan menambah kekuatan, -dan dalam masalah ini banyak orang terlalaikan-, maka misalnya seorang lelaki membuka paha lelaki lain karena sakit yang ringan atau untuk tujuan menambah kekuatan, merupakan suatu kerusakan dan kejahatan yang besar. Ini telah menjadi hal yang biasa dilakukan oleh manusia, tetapi ini adalah kebiasaan yang dilarang oleh syara', meski banyak dilakukan oleh manusia.

[Fatawa wa Rasailusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 2/152]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Maratil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita -3, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, hal 190-193, Penerbit Darul Haq, Penerjemah Amir Fakhruddin]

Sumber :

http://www.almanhaj.or.id/content/1683/slash/0

2 Desmber 2005